Material pendukung, seperti pasir dan paving block, tampak belum lengkap. Ketimpangan antara dokumen perencanaan dan realisasi lapangan ini menimbulkan tanda tanya besar,
khususnya terkait alokasi dan penggunaan anggaran Dana Desa senilai ratusan juta rupiah.
Tokoh masyarakat setempat menekankan bahwa masalah ini bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan soal integritas dan transparansi.
“Kami hanya ingin kejelasan. Uangnya dari Dana Desa, tapi kok warga tidak tahu siapa yang kerja, progresnya lambat, dan hasilnya belum terlihat,” ujarnya.
Warga kini menuntut pertanggungjawaban penuh dan transparansi anggaran. Mereka juga mendesak Inspektorat dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap proyek yang dinilai tidak berjalan sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku.
Proyek pavingisasi sejatinya bertujuan mulia, yakni meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas warga. Namun, alih-alih menyejahterakan, carut-marut pengelolaan ini justru berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan desa.
Kini, batas waktu 31 Oktober 2025 menjadi penentu. Apakah Kades Iskandar Arif mampu menepati janji terakhirnya dan mengembalikan harapan warga, atau justru menambah panjang daftar kasus pembangunan desa yang mandek dan penuh misteri.
Warga Mojongapit menanti dengan penuh harap dan kemarahan yang tertahan.
bersambung















