Situasi ini menimbulkan sejumlah kritik dan pertanyaan:
1. Mengapa proyek rehabilitasi kantor dinas justru tidak mematuhi aturan dasar keterbukaan informasi publik?
2. Mengapa aspek keselamatan kerja diabaikan, padahal sudah diatur dalam undang-undang?
3. Apakah pengawasan dari pihak Dinas PU maupun konsultan pengawas benar-benar berjalan?
Menyikapi hal itu, Manan ketua LSM di Bojonegoro menyayangkan apa yang dilakukan oleh Dinas PU. Ia menyebut, proyek rehab kantor dinas sejatinya harus menjadi contoh pelaksanaan pembangunan yang taat aturan dan transparan. Namun kenyataan di lapangan justru memperlihatkan lemahnya pengawasan. Publik pun patut menagih komitmen keterbukaan dan keselamatan kerja dalam setiap kegiatan pembangunan di Bojonegoro.
“Seharusnya dinas PU harus memberikan contoh yang baik sebagai lending sector ko malah amburadul dalam hal sefty di depan mata saja tidak ada teguran atau arahan terus bagaimana tanggung jawab nya,” sebutnya.
Bahkan, tambahnya, sanksi bagi yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) atau keselamatan proyek diatur dalam beberapa peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sebagai landasan utama, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) seperti Permenaker No. 5 Tahun 2018 yang mengatur K3 konstruksi. Sanksi dapat berupa denda administratif, teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan proyek, hingga sanksi pidana bagi perusahaan. (Red/*).