“Jurnalis saja wajib cek berlapis sebelum menyiarkan berita. Pelajar juga harus belajar kritis. Jangan hanya baca judul yang provokatif,” ujarnya.
Untuk itu, sambung Nur Yahya, diharapkan setiap peserta sosialisasi ini bisa mendengarkan materi dengan baik dan bertanya sebanyak mungkin bila masih ada hal-hal yang belum jelas bisa ditanyakan ke narasumber.
Sebagai pemateri, Siska Prestiwati Wibisono, menjelaskan bahwa mengenali hoaks kini menjadi keterampilan bertahan hidup di era digital. Menurutnya, hoaks tidak hanya soal informasi palsu, tetapi juga pintu masuk berbagai kejahatan digital seperti penipuan online.
“Banyak kasus penipuan online diawali dari informasi palsu atau akun yang tampak meyakinkan. Misalnya, modus phishing yang mengirim pesan seolah dari bank atau kurir. Korban diminta klik tautan, lalu data rekeningnya dibobol,” jelas Sekretaris AJS.
Siska menjelaskan salah satu bentuk hoaks yang paling banyak beredar adalah penipuan online, mulai dari modus hadiah palsu, investasi bodong, hingga penyamaran akun resmi. Pelaku biasanya memanfaatkan kelengahan masyarakat yang kurang teliti memeriksa kebenaran informasi. Akibatnya, banyak korban mengalami kerugian mulai dari jutaan hingga ratusan juta rupiah.
“Banyak sekali yang menjadi korban dengan nilai kerugian mencapai miliaran rupiah, ” ujarnya.
Selain itu, hoaks juga sering dimanfaatkan untuk menyebarkan provokasi, mengadu domba kelompok masyarakat, bahkan memicu kepanikan publik. Contohnya, berita palsu tentang bencana, isu politik menjelang pemilu, hingga informasi kesehatan yang tidak sesuai fakta. Jika tidak ditangani, hoaks dapat menciptakan keresahan luas dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah maupun media arus utama.
Di tempat yang sama,Cahya kelas X,peserta dari SMKN 1 Buduran merasa senang dengan adanya kegiatan sosialisasi tersebut.
“Saya merasa dengan informasi seperti ini kita bisa selektif dan berhati hati dalam bermedia sosial.”ucapnya singkat. (Sis)















