Jika Pilkada Bermasalah, Siapakah Sebenarnya yang Bertanggung Jawab?

Boven Digoel, Mmcnews – Pilkada serentak bukan hanya menjadi ajang perebutan kursi kepala daerah, tetapi juga ujian integritas penyelenggara pemilu. Di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) menjadi sorotan publik.

Perintah PSU bukan hal ringan. Ia lahir dari proses persidangan panjang di MK yang menemukan adanya pelanggaran atau kesalahan. Dalam beberapa putusan MK, termasuk yang menyasar Boven Digoel, majelis hakim menegaskan bahwa “penyelenggara pemilu wajib menjaga asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil), serta bertindak netral demi menjaga kepercayaan publik” (Putusan MK No. 145/PHP.BUP-XIX/2021).

Dalam amar putusan yang memerintahkan PSU di Boven Digoel, MK juga menyinggung pentingnya peran KPU dan Bawaslu sebagai pihak yang “tidak boleh memihak dan harus memastikan seluruh tahapan berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan”. Hakim konstitusi, dalam pertimbangannya, mengingatkan bahwa kegagalan menjaga netralitas dapat berimplikasi pada legitimasi hasil pemilu.

Secara hukum, setelah PSU dilaksanakan, KPU daerah wajib menetapkan pasangan calon terpilih berdasarkan hasil rekapitulasi akhir. Namun, Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 memberi ruang bagi pihak yang tidak puas untuk kembali mengajukan sengketa hasil ke MK dalam waktu 3 x 24 jam sejak penetapan hasil. Artinya, PSU bukanlah akhir cerita. Jika ditemukan bukti baru atau pelanggaran signifikan, proses persidangan bisa kembali digelar.

Jika PSU Kembali Bermasalah

Pertanyaan besar pun muncul: jika PSU yang sudah diulang masih menimbulkan sengketa, siapa yang harus bertanggung jawab? Dalam teori dan praktik penyelenggaraan pemilu, penyelenggara (KPU) dan pengawas (Bawaslu) adalah pihak pertama yang harus dievaluasi.

Pasal 505 dan 506 Undang-Undang Pemilu menyebut, anggota KPU dan Bawaslu yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dapat dipidana penjara hingga 2 tahun. Selain itu, Pasal 77 UU ASN melarang aparatur negara, termasuk penyelenggara, terlibat politik praktis.

Kasus Serupa di Indonesia

Tinggalkan Balasan