Jika Pilkada Bermasalah, Siapakah Sebenarnya yang Bertanggung Jawab?

Beberapa daerah pernah mencatat sejarah pahit di mana penyelenggara dicopot akibat kinerja buruk pada PSU.

– Pilkada Yalimo, Papua (2021) – MK memerintahkan PSU dan menemukan indikasi ketidaknetralan KPU. Ketua KPU setempat diberhentikan oleh KPU RI setelah evaluasi. (Sumber: Kompas, 29 Juni 2021)

– Pilkada Sarmi, Papua (2020) – Bawaslu RI merekomendasikan pemberhentian sementara anggota KPU karena terbukti melanggar asas netralitas. (Sumber: Antara, 12 Desember 2020)

– Pilkada Kota Waringin Timur, Kalteng (2010) – Ketua KPU dipidana karena terbukti memanipulasi dokumen rekapitulasi suara. (Sumber: Tempo, 15 Mei 2011)

 

Tanggung Jawab Bukan Sekadar Formalitas

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Mada Sukmajati, mengatakan dalam wawancara dengan Detik.com (15 Juli 2023), “Penyelenggara adalah wasit. Jika wasit ikut bermain, maka seluruh pertandingan batal demi hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab moral dan hukum mereka jauh lebih besar daripada peserta.”

Kesimpulan adalah Pilkada yang bermasalah, apalagi hingga harus diulang, adalah sinyal bahwa ada celah yang gagal dijaga. Jika PSU pun kembali berakhir di meja MK, maka publik berhak menuntut evaluasi serius, bahkan pencopotan atau pemidanaan penyelenggara yang terbukti lalai atau tidak netral. Sebab, suara rakyat bukan sekadar angka—ia adalah mandat yang harus dijaga mati-matian.***

Tinggalkan Balasan