Berdasarkan penelusuran awak media, terdapat praktik pungutan di pasar ini yang menuai perhatian. Rp 1.000 dikenakan untuk setiap ikat ikan yang dijual, sebuah praktik yang dulunya muncul untuk membayar tenaga angkut dari tepi sungai ke area pasar. Namun kini, meski akses pasar sudah dekat dengan sungai, pungutan itu tetap berlangsung.
Warga menuturkan bahwa dana dari pungutan ini — yang bisa mencapai Rp 4 juta setiap pasar dibuka atau Rp 32 juta per bulan — kini diperebutkan oleh berbagai pihak.
Perselisihan ini bahkan beberapa kali menyebabkan pasar ditutup secara paksa, memaksa warga berpindah ke lokasi lain yang memerlukan perjalanan hingga 5 jam dari pasar tersebut. Akibatnya ekonomi lokal terganggu.
Isu Kependudukan Ganda di Wilayah Perbatasan
Tak hanya masalah pasar, media ini juga menemukan realita lain yang cukup kompleks. Beberapa warga di wilayah ini mengaku memiliki dua identitas kependudukan, yakni Indonesia dan Papua Nugini. Warga yang ditemui mengatakan enggan melepas salah satu status tersebut karena mereka menerima bantuan sosial dari kedua negara.
Kondisi ini tentu menyulitkan pemerintah dalam melakukan pendataan yang akurat, sekaligus menimbulkan dilema antara realitas sosial dan ketentuan hukum negara.
Masyarakat menyambut baik kehadiran Bupati dan pejabat pusat di wilayah mereka, namun juga berharap bahwa permasalahan nyata yang mereka hadapi tak luput dari perhatian.
“Kami senang pasar diresmikan, tapi kami juga ingin ada kejelasan. Jangan ada lagi penutupan, jangan ada pungutan seenaknya. Kami cuma ingin berdagang dengan tenang,” ujar salah satu warga.
Meski tidak disebutkan secara eksplisit dalam sambutan resmi, diharapkan kehadiran pemerintah daerah dan pusat di peresmian pasar ini menjadi langkah awal untuk melihat lebih dekat kenyataan di balik geliat ekonomi rakyat.***