“Saya tidak tahu sama sekali soal harga seragam pramuka dan batik itu. Semua urusan seragam ditangani oleh komite. Untuk nomor kontak komite pun saya tidak punya,” jelasnya saat ditemui di sekolah.
Pernyataan ini kian memperkuat dugaan bahwa pihak sekolah tidak terlibat langsung dalam pengelolaan dana penjualan seragam, yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan publik mengenai batas kewenangan komite sekolah dalam mengatur kegiatan ekonomi di lingkungan pendidikan negeri.
Tuntutan Audit dan Transparansi Publik, kasus ini dinilai sejumlah pihak harus menjadi perhatian serius bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang. Mereka didesak untuk segera melakukan klarifikasi dan audit terhadap mekanisme kerja sama antara komite sekolah dan pihak konveksi.
”Sekolah negeri itu harus transparan. Kalau memang ada selisih harga, harus dijelaskan ke wali murid secara terbuka. Jangan sampai ada kesan mencari keuntungan dari kebutuhan siswa,” ungkap salah satu pemerhati pendidikan di Jombang.
Kasus ini menjadi cerminan pentingnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik dalam dunia pendidikan. Pengelolaan dana non-Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), seperti pembelian seragam dan perlengkapan siswa, wajib dilakukan secara terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan negeri.
Masyarakat menaruh harapan agar persoalan ini segera mendapat penyelesaian yang jelas. Sekolah, sebagai lembaga yang mencerminkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan keterbukaan, diharapkan tidak lagi tersorot karena dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana siswa.
(Tim)