Kita tidak boleh tinggal diam. Pemerintah, pendidik, dan masyarakat harus bahu-membahu membangkitkan kembali kecintaan terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Di sekolah, pengajaran bahasa tidak cukup berhenti pada tata bahasa atau ejaan semata, tetapi harus menyentuh makna dan fungsi sosialnya. Siswa perlu diajak berdiskusi, menulis kreatif, membaca karya sastra, dan menafsirkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Guru pun
perlu berperan bukan hanya sebagai pengajar, melainkan sebagai teladan yang menggunakan bahasa dengan baik dan menghargai karya sastra bangsa.
Selain itu, media massa dan platform digital juga memiliki tanggung jawab moral. Media seharusnya tidak hanya menyajikan berita sensasional, tetapi juga memberi ruang bagit tulisan-tulisan reflektif dan karya sastra berkualitas. Dengan cara itu, masyarakat akan terbiasa membaca hal yang bermakna, bukan sekadar mengonsumsi informasi cepat yang melupakan isi. Pemerintah dapat mendukung gerakan literasi nasional, mengadakan lomba menulis, festival sastra, dan penghargaan bagi karya terbaik agar semangat berkarya tetap hidup.
Peran keluarga pun tak kalah penting. Di rumah, anak-anak sebaiknya dibiasakan membaca sejak dini. Orang tua dapat mengenalkan cerita rakyat, dongeng nusantara, atau puisi anak-anak yang sederhana namun sarat pesan moral. Dari kebiasaan kecil itu, tumbuh kecintaan terhadap bahasa dan kepekaan terhadap keindahan kata. Ketika anak-anak terbiasa berbahasa dengan baik dan benar, mereka juga belajar berpikir dengan teratur, sopan, dan logis.
Begitulah bahasa membentuk budi pekerti. Kita juga perlu menyadari bahwa bahasa dan sastra Indonesia tumbuh dari keberagaman.
Bahasa Daerah
Bahasa daerah, ungkapan lokal, dan cerita rakyat dari berbagai penjuru Nusantara merupakan kekayaan yang tidak ternilai. Dengan menjaga bahasa daerah, kita sebenarnya sedang menjaga akar budaya bangsa. Di tempat sama Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tidak akan kehilangan martabatnya jika berdampingan dengan bahasa daerah. Sebaliknya, justru keduanya akan saling memperkaya karya sastra modern. Dengan mengangkat tema dan bahasa lokal akan memperluas cakrawala sastra nasional kita.
Menjaga bahasa dan sastra bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan kesadaran, kerja sama, dan ketekunan dari semua pihak. Tetapi jika kita sungguh mencintai Indonesia, maka menjaga bahasa dan sastra adalah salah satu bentuk cinta tanah air yang paling nyata. Sebab keduanya adalah napas kehidupan bangsa, sumber nilai, dan cermin kemanusiaan. Bangsa yang menghormati bahasanya adalah bangsa yang menghormati dirinya sendiri, bangsa yang menghargai sastranya adalah bangsa yang tidak akan kehilangan arah.
Bahasa dan sastra bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jembatan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Di dalamnya tersimpan sejarah, kenangan, dan harapan. Mari kita rawat keduanya dengan penuh kesadaran. Jangan biarkan keduanya terkubur oleh kebisingan dunia modern yang kian tak berbahasa. Saatnya generasi muda berdiri dan berkata dengan bangga: “Aku cinta Bahasa Indonesia, aku cinta sastra bangsaku.” Hanya dengan begitu, bahasa dan sastra akan terus hidup sebagai cermin jiwa bangsa yang abadi.















