Dalam dunia jurnalistik, terdapat fenomena yang cukup sering ditemukan, yaitu sejumlah institusi, baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-formal, kerap menyepelekan peran awak media. Ketidakpahaman akan pentingnya keterbukaan informasi membuat banyak jurnalis mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas mereka. Pengabaian terhadap permohonan wawancara, akses informasi yang terbatas, dan sikap acuh tak acuh saat media meminta klarifikasi menjadi hal yang kerap juga ditemukan di lapangan.
Ironisnya, ketika awak media berhasil mengungkap tindakan tidak terpuji dari institusi, mereka justru merasa terancam dan berusaha memviralkan masalah tersebut untuk menciptakan keributan. Selain itu, institusi juga terkadang menyepelekan kewajiban mereka dalam melakukan kemitraan dengan media. Praktik pembayaran untuk kemitraan publikasi sering kali dilakukan sesuka hati, tanpa mempertimbangkan nilai nyata yang diberikan oleh media. Hal ini menambah kompleksitas hubungan antara media dan institusi, di mana media merasa tidak dihargai dan diabaikan dalam proses yang seharusnya saling menguntungkan.
Sebagai contoh, baru-baru ini terjadi di KPUD Boven Digoel, yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar jerih payah awak media yang melakukan peliputan seluruh kegiatannya. Padahal peliputan itu diminta secara resmi melalui acara kumpul bersama di salah satu kafe di pusat kota Tanah Merah. Tentu hal ini merupakan salah satu contoh dari banyak hal yang dirasakan oleh awak media. Para awak media lokal juga kerap tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah setempat, baik itu dalam kemitraan publikasi ataupun bentuk dukungan lainnya.