“Dalam hukum dikenal asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali — tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa aturan hukum yang mendahului. Gugatan ini menyangkut hak privat yang harus diuji secara objektif di pengadilan,” ujar Jefry.
Majelis hakim kemudian menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda jawaban gugatan pada 4 September 2025 melalui sistem e-court. Tim hukum tergugat menyatakan siap mengawal proses hukum hingga tuntas.
“Kami berharap keadilan berpihak pada anak korban dan keluarganya. Jangan sampai proses hukum justru menjadi alat untuk membalikkan posisi korban,” tambah Nurul Ali.
• Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dapat dikenai pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
• Perma No. 1 Tahun 2016 mewajibkan kehadiran para pihak dalam mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian sengketa perdata.
• Pasal 3 dan Pasal 4 KUHPerdata menjamin hak setiap warga negara untuk mengajukan gugatan perdata, namun harus dilakukan dengan itikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum pidana yang sedang berjalan.
Perkara ini memicu perhatian publik karena dinilai sebagai bentuk ironi hukum. Seorang tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak justru menggugat orang tua korban atas pencemaran nama baik. Banyak pihak menilai hal ini berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi balik terhadap keluarga korban. [Hms-Forpinas]