Oleh: Arlina Lang Salesman Iglo Jaghung
Belakangan ini, dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Bahasa Indonesia, yang selama ini menjadi simbol pemersatu bangsa, kini mulai kehilangan pesonanya di kalangan generasi muda.
Fenomena penggunaan bahasa asing secara berlebihan di media sosial, ruang kelas, bahkan dalam percakapan sehari-hari, seakan menandakan bahwa bahasa kita sendiri tak lagi dianggap bergengsi.
Perubahan pola komunikasi yang serba cepat dan ringkas di dunia digital perlahan menggeser cara berpikir, cara menulis, bahkan cara kita memahami makna.
Bahasa Indonesia pada hakikatnya bukan sekadar alat untuk berbicara, melainkan cermin dari cara berpikir dan jiwa bangsa. Melalui bahasa, manusia mengekspresikan gagasan, nilai moral, dan identitas budayanya. Ketika bahasa sendiri diabaikan, secara tidak langsung kita
sedang mengikis jati diri bangsa. Ironisnya, banyak anak muda lebih bangga menggunakan istilah-istilah asing ketimbang kata-kata dalam bahasa Indonesia. Padahal, bahasa asing seharusnya dipelajari untuk memperkaya wawasan, bukan untuk menggantikan bahasa ibu yang menjadi dasar identitas nasional.
Sastra
Sastra pun demikian, mengalami nasib yang serupa. Dulu, karya sastra memiliki tempat terhormat dalam dunia pendidikan dan kehidupan masyarakat. Novel, cerpen, dan puisi menjadi ruang bagi para sastrawan untuk menyuarakan nurani rakyat, menentang ketidakadilan, serta menanamkan nilai kemanusiaan. Namun kini, sastra seolah tersingkir di tengah hiruk-pikuk budaya digital yang serba instan. Karya sastra yang sarat makna dan nilai kemanusiaan kian jarang dibaca, tergantikan oleh konten-konten singkat yang viral namun dangkal. Banyak orang lebih tertarik membaca kutipan pendek di media sosial daripada menelusuri halaman-halaman buku yang menuntut kesabaran dan pemikiran.
Sastrawan dahulu menulis untuk membuka mata nurani masyarakat menggugah,
mengkritik, dan menyadarkan. Nama-nama besar seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, W.S. Rendra, atau Taufiq Ismail telah menunjukkan betapa kuatnya peran sastra dalam membentuk kesadaran bangsa. Melalui karya mereka, rakyat diajak merenungkan kembali makna kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan. Kini, suara sastra tenggelam di lautan
algoritma media sosial yang lebih menghargai kecepatan dibanding kedalaman makna. Kita lebih sering menilai sesuatu dari jumlah suka dan bagikan, bukan dari nilai moral dan isi pesan yang disampaikan. Padahal, lewat bahasa dan sastra, bangsa ini pernah menemukan jati dirinya. Pada masa perjuangan, bahasa menjadi senjata pemersatu. Ikrar “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia” bukan sekadar seruan politik, tetapi simbol kesadaran kolektif bahwa tanpa bahasay yang satu, mustahil kita menjadi bangsa yang kuat. Sastra pun menjadi alat perjuangan yang menyalakan semangat nasionalisme. Puisi, lagu perjuangan, dan cerita rakyat menjadi sumbern ispirasi yang menumbuhkan keberanian melawan penjajahan.
Kini, tantangan yang kita hadapi berbeda, tetapi tidak kalah berbahaya. Arus globalisasi membawa nilai-nilai baru yang kadang tidak sejalan dengan kepribadian bangsa. Tanpa pondasi bahasa dan sastra yang kuat, generasi muda mudah kehilangan arah. Mereka tumbuh dalam budaya digital yang lebih menghargai sensasi daripada substansi. Di sinilah pentingnya mengembalikan posisi bahasa dan sastra ke tempat yang semestinya sebagai alat pembentuk karakter dan penuntun moral bangsa.















