MMCNEWS.ID | Belakangan ini, penggunaan sound system berukuran besar atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah sound horeg semakin marak di berbagai wilayah, termasuk Kabupaten Jombang. Perangkat pengeras suara dengan daya tinggi itu sering kali digunakan dalam acara hajatan, konser musik, hingga kegiatan masyarakat di tingkat desa.
Suara dentuman keras yang dihasilkan memang mampu menarik perhatian dan menambah suasana meriah, namun di balik itu semua tersimpan bahaya serius yang kerap diabaikan, kerusakan permanen pada pendengaran.
Kebisingan ekstrem dari sound horeg bukan sekadar mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar, tetapi juga mengancam kesehatan indera pendengaran manusia.
Menurut penjelasan dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorok, dan Kepala Leher (THT-KL) RSUD Jombang, dr. Kihastanto, Sp.THT-KL, paparan suara keras dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan kerusakan permanen pada struktur halus di dalam telinga.
“Telinga manusia dirancang untuk menangkap suara sekecil mungkin. Kalau ada suara dari luar yang terlalu keras, itu bisa memengaruhi organ dalam telinga dan berisiko menimbulkan gangguan pendengaran,” ujar dr. Kihastanto saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (5/11/2025).
Ia menjelaskan, berdasarkan keputusan World Health Organization (WHO), batas aman intensitas suara yang dapat diterima telinga manusia tanpa menimbulkan gangguan adalah 70 desibel (dB).
Lebih dari angka itu, telinga mulai berada dalam kondisi tidak aman dan berpotensi mengalami kerusakan. Sementara itu, hasil pengukuran dari sejumlah sound system super atau sound horeg menunjukkan angka intensitas yang mencengangkan, yaitu antara 100 hingga 125 dB.
“Suara dengan intensitas 100 sampai 125 dB itu sudah setara dengan suara mesin jet, letusan senjata api, bahkan suara petir. Bayangkan saja, paparan sebesar itu jelas sangat berbahaya bagi telinga,” jelasnya.
Menurut Kihastanto, efek dari paparan suara keras tidak hanya ditentukan oleh besarnya intensitas, tetapi juga oleh durasi paparan. Suara keras yang hanya didengar sesaat mungkin hanya menyebabkan efek sementara, seperti rasa tidak nyaman atau telinga berdenging.
Namun jika paparan terjadi secara terus-menerus dan berulang dalam waktu lama, maka dampaknya dapat berujung pada kerusakan permanen pada organ telinga bagian dalam.
“Kalau durasi paparan singkat, hair cell atau sel rambut di dalam telinga hanya mengalami kelelahan. Tapi kalau setiap hari berjam-jam mendengarkan suara keras tanpa jeda, hair cell itu tidak punya waktu untuk pulih. Akibatnya, lama-lama akan rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi,” terangnya.
Lebih lanjut, dokter Kihastanto juga menjelaskan secara rinci mengenai anatomi dan mekanisme kerja organ telinga manusia. Di bagian telinga tengah terdapat tiga tulang kecil yang disebut ossicles, yaitu maleus (martil), inkus (landasan), dan stapes (sanggurdi). Tulang-tulang ini berfungsi untuk meneruskan getaran suara dari gendang telinga ke koklea yang berada di telinga bagian dalam.















