Ia mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa perusahaan leasing maupun kuasanya tidak berhak melakukan eksekusi objek jaminan fidusia secara sepihak.
“Debt collector tidak bisa seenaknya menarik kendaraan debitur di jalan. Proses eksekusi hanya bisa dilakukan melalui mekanisme hukum, bukan dengan kekerasan. Putusan MK ini sifatnya final dan mengikat, sehingga sudah seharusnya penegak hukum menindak tegas aksi-aksi perampasan kendaraan seperti ini,” tegas Fuad.
Dirinya menambahkan, apabila ada keterlambatan cicilan, pihak leasing wajib menempuh jalur pengadilan untuk melakukan penarikan barang, bukan dengan main hakim sendiri.
Kasus ini menuai sorotan publik, sebab memperlihatkan potret ketidakadilan yang menimpa masyarakat kecil. Seorang korban kekerasan dan perampasan justru berbalik menjadi tersangka, sementara oknum debt collector yang melakukan tindakan melawan hukum terkesan lebih dilindungi.
Situasi ini semakin menambah panjang daftar persoalan klasik antara masyarakat dengan praktik penarikan kendaraan bermotor oleh debt collector, yang hingga kini masih sering menimbulkan polemik di lapangan.


							












