Pamer Foto dengan Pejabat dan Ilusi Kedekatan Kekuasaan

  • Bagikan
Foto dengan pejabat tinggi negara seringkali menjadi alat strategis dalam personal branding. Dalam sudut pandang komunikasi, foto ini berfungsi sebagai simbol 'akses' yang digunakan untuk meningkatkan persepsi status sosial di media digital, meskipun relasi personal yang terjalin sesungguhnya sangat dangkal.

Oleh I Made Suyasa

Fenomena pamer foto bersama pejabat kembali mencuat di berbagai platform media sosial. Dalam banyak kasus, foto-foto itu diambil sekilas – sering kali hanya dalam hitungan detik – di sela acara publik. Namun, unggahannya dikemas sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan kedekatan personal dengan pemegang kekuasaan. Persoalan ini bukan sekadar soal gaya hidup digital, tetapi mencerminkan bagaimana citra, simbol, dan persepsi diolah menjadi kapital sosial baru di ruang publik.

Di era ketika visual menjadi bahasa utama komunikasi, foto dengan pejabat berubah menjadi simbol status yang kuat. Ia berperan layaknya “stempel legitimasi sosial”, meskipun hubungan yang melatari foto tersebut sangat dangkal. Di tengah masyarakat yang kian terhubung tetapi juga semakin kompetitif, simbol-simbol visual semacam ini digunakan untuk membangun narasi bahwa seseorang memiliki akses, kedekatan, atau bahkan pengaruh tertentu di lingkar kekuasaan.

Perilaku tersebut dapat dijelaskan melalui pendekatan interaksionisme simbolik dalam ilmu komunikasi. Foto dengan pejabat berfungsi sebagai simbol yang tidak hanya memuat citra fisik, tetapi juga makna kekuasaan, prestise, dan otoritas. Pemilik foto berupaya membentuk pemaknaan tertentu di benak audiens, yakni gambaran tentang dirinya sebagai individu yang terhubung dengan elite politik. Maka, keaslian hubungan menjadi tidak relevan; yang penting adalah persepsi yang terbangun.

Dalam konteks dramaturgi sosial, unggahan seperti itu merupakan bagian dari “panggung depan”. Media sosial menjadi arena pertunjukan, dan foto pejabat diposisikan sebagai properti panggung untuk memperkuat peran yang ingin dimainkan, yakni profesional terpandang, figur berpengaruh, atau individu dengan jaringan strategis. Sementara itu, “panggung belakang” – kenyataan bahwa pejabat tersebut mungkin tidak mengenal pengunggah – dihilangkan dari narasi publik.

Namun, perilaku ini tidak bisa dilepaskan dari motif psikologis yang lebih dalam. Pamer foto dengan pejabat kerap menjadi bentuk pencarian validasi, kebutuhan akan pengakuan, bahkan kompensasi atas rasa tidak aman. Di sisi lain, unggahan itu juga memenuhi kebutuhan gratifikasi: peningkatan status, persepsi kredibilitas, serta keinginan untuk dianggap sebagai bagian dari lingkar elite, meskipun hanya secara simbolik.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan