Pamer Foto dengan Pejabat dan Ilusi Kedekatan Kekuasaan

  • Bagikan
Foto dengan pejabat tinggi negara seringkali menjadi alat strategis dalam personal branding. Dalam sudut pandang komunikasi, foto ini berfungsi sebagai simbol 'akses' yang digunakan untuk meningkatkan persepsi status sosial di media digital, meskipun relasi personal yang terjalin sesungguhnya sangat dangkal.

Permasalahannya, praktik semacam ini menyimpan konsekuensi terhadap ekosistem komunikasi publik. Pertama, ia berpotensi menciptakan distorsi persepsi terhadap akses kekuasaan. Publik sulit membedakan mana kedekatan yang autentik dan mana ilusi yang dibangun untuk kepentingan pencitraan diri. Kedua, praktik ini dapat memperburuk budaya “pansos politik”, di mana kedekatan visual menggantikan integritas, kompetensi, atau rekam jejak sebagai alat legitimasi.

Ketiga, ia dapat memicu sikap permisif terhadap pencitraan semu. Ketika masyarakat lebih terpukau pada visual daripada substansi, ruang diskusi publik bergerak menjauh dari isu-isu penting menuju simbolisme dangkal. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memperlemah kualitas komunikasi politik dan memperluas jurang antara persepsi dan realitas.

Diperlukan literasi visual yang lebih kuat agar publik mampu membaca ulang simbol-simbol komunikasi di media sosial secara kritis. Foto dengan pejabat seharusnya dinilai berdasarkan konteks: apakah ia bagian dari kerja profesional, dokumentasi acara publik, atau sekadar strategi pencitraan yang memanfaatkan aura kekuasaan. Kabupaten, kota, atau kementerian hendaknya juga memiliki protokol komunikasi yang lebih tegas untuk meminimalkan penyalahgunaan momen foto sebagai alat manipulasi simbolik.

Selain itu, masyarakat perlu kembali mengedepankan nilai substansi dalam menilai kredibilitas seseorang. Kedekatan visual dengan pejabat tidak dapat menggantikan integritas, kompetensi, dan rekam jejak. Media sosial memungkinkan siapa saja membangun citra, tetapi daya tahan citra tetap bergantung pada kualitas faktual yang mendasarinya.

Pada akhirnya, ruang digital menuntut kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap praktik penciptaan ilusi sosial. Pamer foto dengan pejabat bukan hanya persoalan gaya hidup, tetapi bagian dari dinamika komunikasi kekuasaan yang membentuk persepsi publik. Ketajaman membaca simbol akan menentukan apakah masyarakat dapat menolak jebakan pencitraan semu atau justru tenggelam dalam budaya flexing yang mengaburkan realitas. *

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan